Seiring dengan berkembangnya zaman, banyak industri yang berlomba-lomba memanfaatkan teknologi secara masif. Perusahaan smartphone dengan rilisan smartphone terbarunya, perusahaan elektronik dengan kecanggihan barangnya, hingga wearable device yang semakin dipuja oleh masyarakat beberapa tahun ke belakang. Akan tetapi, tahukah kamu bahwa berkembang pesatnya industri di dunia saat ini juga berbanding lurus dengan banyaknya limbah yang dihasilkan?  

Limbah secara umum dikategorikan menjadi tiga bagian: limbah organik, limbah anorganik, dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sadar atau tidak, keberadaan limbah ini sangatlah berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Salah satu jenis limbah yang berdampingan erat dengan gaya hidup manusia adalah limbah elektronik (e-waste). Tak tanggung-tanggung, limbah elektronik yang jarang mendapat perhatian, keberadaannya justru memuncaki rekor terbanyak pada tahun 2019 dengan total 53,6 juta ton dilansir dari data terbaru milik The Global E-Waste Statistic Partnership

Kendati berhasil memecahkan rekor di tahun 2019 sebagai jenis limbah terbanyak, sebagian orang justru beranggapan bahwa perilaku konsumtif dalam berbelanja elektronik bukanlah suatu masalah. Padahal di sisi lain, barang-barang elektronik yang sudah rusak kemudian dibuang dapat menimbulkan satu permasalahan sendiri. Limbah elektronik (e-waste) sendiri dapat diartikan sebagai jenis sampah atau limbah yang berasal dari peralatan elektronik. Telepon genggam, komputer, televisi, dan mesin cuci merupakan jenis benda elektronik yang paling banyak dibuang. 

Lantas, mengapa hal ini dikategorikan sebagai limbah dan berbahaya padahal barang-barang yang disebutkan tadi hanyalah benda sehari-hari yang telah usang? Ternyata, limbah elektronik mengandung bahan berbahaya dan beracun seperti logam berat, PVC (polyvinyl chloride), dan PCB (polychlorinated biphenyl) yang dapat mengganggu kesehatan dan keseimbangan ekosistem. Hal inilah yang selayaknya menjadi perhatian karena limbah elektronik harus dikelola dengan baik secara terpisah agar tidak mencemari lingkungan sekitar.

Love-Hate Relationship antara Limbah Elektronik dan Negara Berkembang

Berbanding terbalik dengan pengelolaan limbah elektronik di negara maju, negara berkembang masih jauh dari kata layak terkait pengelolaan limbah elektronik. Negara-negara maju saat ini masih menempati posisi pertama sebagai negara dengan pengguna terbanyak soal elektronik. Kondisi ini mengakibatkan minimnya kemampuan mendaur ulang limbah elektronik dengan cukup baik sehingga limbah elektronik tadi ‘dilemparkan’ ke negara berkembang. Limbah elektronik yang dihasilkan diekspor ke negara berkembang dalam jumlah besar secara ilegal ke Tiongkok dan India untuk didaur ulang. 

Di India, limbah elektronik yang didapat dari negara maju akan diolah untuk diekstrak logam mulianya, seperti emas (Au), perak (Ag), platina (Pt), dan paladium (Pd). (Chatterjee dkk., 2009). Meskipun India mampu mendaur ulang limbah elektronik, proses yang dilakukan jauh dari kata ramah lingkungan karena proses solder untuk ekstraksi emas mengakibatkan polusi udara. 

Sepanjang tahun 2008, sebanyak 37 juta PC (Personal Computer) bekas dipoles dan diekspor ke negara berkembang. Angka ini diperkirakan akan terus naik setiap tahunnya, bahkan mencapai dua kali lipat. Perangkat teknologi bekas biasanya dikumpulkan di pusat loakan terdekat. Tetapi setelah putusan European Union’s Waste Electrical and Electronic Equipment (WEEE) di tahun 2007 menjadi undang-undang (seperti di Inggris), limbah elektronik kini harus dibongkar atau didaur ulang oleh kontraktor khusus karena kandungan berbahaya yang terkandung di dalamnya.

Sebuah penyelidikan mengungkap bahwa ribuan komputer dan limbah elektronik lainnya masih dikirimkan secara ilegal dari Inggris ke negara-negara di benua Afrika. Padahal, suatu saat negara-negara berkembang yang menerima limbah PC bekas tersebut juga masih harus menyingkirkan PC yang bersangkutan. Menurut Gartner, jumlahnya mencapai 30 juta PC per tahun. Yang menjadi masalah, negara berkembang yang menerima PC bekas umumnya tidak memiliki kemampuan untuk menangani limbah PC bekas tersebut dengan aman. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan yang berbahaya.

Negara berkembang memiliki hubungan bak love and hate relationship dengan limbah elektronik. Mengapa demikian? Negara berkembang tidak memiliki kebijakan formal terkait sistem pembuangan sampah sehingga tidak mampu dikelola dengan baik. Imbasnya, masyarakat di negara berkembang kemudian melakukan semua proses daur ulang secara mandiri tanpa diiringi oleh prosedur dan kebijakan yang layak atau menjualnya ke pendaur ulang yang tidak membuang sampah elektronik dengan benar. 

Dampak buruk dari ketidakmampuan mendaur ulang sampah elektronik adalah bahan kimia yang terkandung di dalam komponennya bisa mencemari tanah dan saluran air. Laporan yang sama juga menyoroti anak-anak yang tinggal, bekerja, dan bermain di wilayah daur ulang sampah elektronik tak resmi. Mereka bisa menghirup gas beracun yang dilepaskan saat komponen elektronik dibakar atau menginjak bahan kimia saat mereka bermain. Para pekerja dewasa yang menggunakan senyawa asam untuk menghilangkan emas dari bahan elektronik bisa saja membuang bahan kimia ke saluran air sehingga meresap di tanah dan mencemari sistem makanan. 

Belum sampai disitu, perilaku konsumtif masyarakat di negara berkembang juga semakin mendukung tingginya limbah elektronik yang dihasilkan. Pola dan gaya hidup yang terus ingin mengonsumsi barang-barang elektronik terbaru tidak diiringi pemahaman bahwa barang elektronik sebelumnya juga bisa usang dan tidak bisa didaur ulang dengan cara yang seperti biasa. 

Limbah Elektronik: Harus Diapakan? 

Meski kurang mendapat perhatian, sejatinya limbah elektronik tetap bisa dimaksimalkan pengelolaannya. Meminimalkan limbah elektronik merupakan salah satu cara terbaik untuk menjaga lingkungan agar tetap aman. Mengutip situs get-green-now, bahaya kerusakan lingkungan yang disebabkan pembuangan limbah elektronik yang tidak tepat dapat diurai dalam waktu singkat berupa polusi udara, polusi air, hingga polusi tanah. 

Polusi udara diakibatkan pembakaran kabel yang melepaskan hidrokarbon di atmosfer. Selanjutnya, polusi air diciptakan dari perangkat elektronik yang banyak mengandung logam beracun, seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), dan litium (Li), yang apabila tidak dibuang dengan benar akan bercampur dengan kolam, danau, sungai, dan air tanah. Sumber air tadi akan langsung terkontaminasi oleh zat berbahaya yang dapat mengancam hidup manusia. Terakhir, polusi tanah diakibatkan logam-logam berbahaya pada sisa barang elektronik yang memasuki rantai makanan karena diserap oleh tanaman dari tanah. 

Banyak hal yang bisa dilakukan agar limbah elektronik dapat berkurang. Mulai dari menjual barang tersebut ke orang lain hingga mendonasikannya. Mengapa demikian? Menjual barang bekas elektronik dengan harga yang lebih murah merupakan win-win solution dimana peminat barang bekas di masyarakat masih sangat banyak. Selain itu sebagai masyarakat yang sadar akan ketahanan lingkungan, kita juga dapat mendaur ulang beberapa perangkat elektronik lama dengan memanfaatkan komponen berharga yang ada di dalamnya. Hal ini dapat mengurangi dan menekan penggunaan energi berlebihan

Cara lain yang dapat digunakan untuk menekan limbah elektronik ialah dengan menjaga keawetan barang yang sudah ada kini. Percaya atau tidak, tingkat kerusakan  barang elektronik salah satunya dipengaruhi oleh cara pemakaiannya. Apabila penggunanya merupakan orang yang bijak dalam menggunakan barang elektronik, tidak menutup kemungkinan barang elektronik tersebut akan bertahan lama sehingga tidak perlu membeli barang baru. Terlepas dari hal tadi, menekan perilaku konsumtif dalam mengelola barang juga perlu dilakukan guna tidak semakin memuncaknya limbah elektronik yang dihasilkan. 

Happy International E-Waste Day! Mari sama-sama menjadi generasi yang bijak dalam mengelola barang-barang elektronik yang kita miliki agar tidak menjadi limbah yang merusak generasi di masa depan. 


Featured Image Credit

Photo by John Cameron on Unsplash

Tagged: , , , ,
LATEST POSTS
FOLLOW AND SUBSCRIBE

Ancaman Nyata Berbentuk Limbah Elektronik

oleh Suti Sri Hardiyanti time to read: 4 min
0